Lampung – Suhendro, Peneliti Keuangan Publik, mengungkapkan dua kesalahan konseptual yang sering dilakukan pemerintah daerah (Pemda) dalam menerapkan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) berbasis Availability Payment (AP). Menurutnya, kesalahan ini sering terjadi karena kurang dipahaminya konsep dasar KPBU-AP yang mengedepankan prinsip pembayaran berbasis kinerja. Kesalahan ini, menurutnya, tidak hanya terjadi di level daerah, tetapi juga berdampak pada laporan keuangan pemerintah pusat, seperti terlihat dalam kasus proyek SPAM Jatiluhur I di Jawa Barat yang menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
KESALAHAN PERTAMA: PEMBAYARAN AP DIANGGAP BELANJA MODAL, PADAHAL OPERASIONAL
Suhendro menjelaskan bahwa dalam skema KPBU-AP, pembayaran pemerintah kepada mitra swasta hanya dilakukan jika layanan infrastruktur benar-benar tersedia dan memenuhi standar yang disepakati.
“Mekanisme ini sangat berbeda dengan skema konvensional. Pemda tidak membayar untuk pembangunan fisik, tetapi untuk ketersediaan layanan yang memenuhi standar. Jika SLA (Service Level Agreement) tidak terpenuhi, pembayaran bisa ditunda atau dikurangi,” jelas Suhendro.
Proses pembayaran AP baru dimulai setelah:
- Infrastruktur dinyatakan siap digunakan dan telah melewati uji operasional.
- Dilakukan serah terima resmi melalui Berita Acara Serah Terima (BAST) ke Pemda.
- SLA telah diverifikasi dan dinyatakan terpenuhi.
- Pembayaran dimulai pada tahun anggaran pertama setelah proyek siap operasional.
Suhendro menegaskan bahwa banyak Pemda keliru mengklasifikasikan pembayaran Availability Payment sebagai belanja modal, padahal seharusnya dicatat sebagai belanja operasional.
“Availability Payment adalah kompensasi atas ketersediaan infrastruktur yang sudah beroperasi, bukan pembayaran untuk pembangunan aset baru. Ini harus masuk dalam belanja operasi, bukan modal,” tegasnya.
CONTOH KASUS: SPAM JATILUHUR I
Kesalahan serupa juga terjadi pada proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Jatiluhur I, yang merupakan kerja sama pemerintah pusat dengan badan usaha. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2023, ditemukan bahwa pencatatan seluruh nilai kontrak KPBU-AP langsung dimasukkan ke neraca sejak proyek dimulai. Padahal, menurut prinsip akuntansi akrual berbasis kinerja, pencatatan harus dilakukan secara bertahap sesuai pemenuhan Service Level Agreement (SLA) dan serah terima aset.
Akibatnya, neraca pemerintah pusat sempat membengkak secara tidak akurat, dan BPK meminta koreksi laporan keuangan.